RAKYAT TIMOR MELAWAN KLAIM KAWASAN HUTAN ATAS TANAH ULAYAT DAN PERKAMPUNGANNYA

AGRA NTT turut menghadiri Musyawarah adat Amanuban/ Dok. AGRA NTT

Kesatuan Pengelolah Hutan (KPH) tampaknya telah menjadi instrumen negara yang tidak hanya digunakan untuk mengklaim tanah sebagaimana institusi Kehutanan sebelumnya di luar Perum Perhutani dan Inhutani. melalui KPH, klaim negara hutan rakyat telah menjelma menjadi kawasan hutan yang tidak ubahnya seperti kawasan hutan dibawah Perum Perhutani dan Inhutani sebagai basis penanaman tanaman-tanaman monokultur baik untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun Hutan Tanaman Energi (HTE) dan bahkan menjadi basis untuk pembangunan proyek-proyek infrasturtur Proyek Strategis Nasional bahkan membuka ruang lebar untuk berbagai bentuk penanaman modal baik untuk kebutuhan ekspansi pertambangan, perkebunan, partiwisata. singkatnya, melalui KPH, hutan-hutan berubah menjadi kawasan-kawasan bisnis untuk bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Daratan Pulau Timor provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan bahkan dihampir seluruh daratan NTT, hingga saat ini belum ada peta kehutanan yang jelas untuk membedakan kawasan hutan yang diakui oleh negara dan tidak meski di dalam data statistik terus terjadi peningkatan luas kawasan hutan di NTT, pada tahun 2021 luas hutan lindung (diluar hutan produksi dan konservasi) NTT adalah 667.261,89 Ha setahun setelahnya terjadi lonjakan luas yang sangat signifikan yaitu mencapai 698.7771,33 Ha terjadi penambahan luas lebih dari 31.000 Ha.

belum ada peta kehutanan tersebut karena sesungguhnya sebagian besar daratan NTT termasuk hutan adalah wilayah yang dikuasai dan dimanfaatkan secara komunal oleh suku bangsa minoritas yang masih eksis di dalamnya. hal tersebut ditunjukkan dengan masih eksisnya struktur pemerintahan lokal yang tidak hanya mengurusi urusan-urusan kepercayaan, tari-tarian, dan pakaian adat tetapi struktur yang mengatur hubungan rakyatnya dengan sesama rakyat, rakyat dengan tanah, dan bahkan satu suku dengan suku yang lainya.

Perluasan monopoli kehutanan di NTT didasarkan pada beberapa aturan sebagai berikut:

  1. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 89/Kpts-II/1983 tanggal 2 Desember 1983 tentang Penunjukkan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Nusa Tenggara Timur seluas ± 1.667.962 Ha.
  2. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor SK.423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas ± 1.808.990 Ha.
  3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016 Tanggal 14 Mei 2016 tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan ± 54.163 Ha.
  4. Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 12.168 Ha, dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 11.811 Ha di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara historis, penetapan kawasan hutan di NTT pun juga pulau Timor sama halnya dengan penentuan kawasan hutan di provinsi-provinsi lain di Indonesia yaitu berdasarkan pada penetapan hutan oleh pemerintah kolonial belanda sebagai implementasi asas “domain verklaring” dalam Undang-undang Agrarische wet Staatsblad 1870 no.55. Hal ini sangat kontradiktif mengingat bahwa obyektifitas sejarah menyatakan bahwa tidak semua pulau timor dikuasi oleh pemerintah penjajah belanda seperti wilayah amanuban. Namun pemerintah dan Dinas kehutanan serta KPH saat ini tetap menggunakan acuan tersebut untuk terus memuluskan segala bentuk investasi dan proyeknya.

Dalam penetapan kawasan hutan di Pulau Timor utamanya didaerah Amanuban tidak satupun yang didasarkan pada konsultasi dengan tetua-tetua suku yang hingga saat ini masih memerintah dan mengatur penggunaan tanah termasuk hutan di dalam kawasan ulayatnya.

Seperti halnya perampasan tanah dan belukar rakyat seluas 6.000 Ha yang dilakukan oleh Dinas Peternakan dan Dinas Kehutanan NTT terhadap perkampungan, lahan pertanian dan hutan (belukar rakyat) adat Pubabu di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). bahkan tanpa menghiraukan perjuangan sengit rakyat Pubabu atas klaim tersebut, secara sepihak Dinas kehutanan telah menargetkan hutan pubabu sebagai pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan jenis tanaman lamtoro, Gamal, dan Kaliandra melalui skema Perhutanan Sosial (PS) dalam rangka menjalankan proyek Transisi Energi.

Serupa dengan Hutan Pubabu, kawasan Hutan Camplong di Kabupaten Kupang juga dirampas dari rakyat setempat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan seluas 6.000 Ha yang telah dijadikan sebagai kawasan perkebunannya kayu jati dalam skema  Hutan Tanaman Industri (HTI) yang pengelolanya oleh Perum Perhutani NTT dan kini juga direncanakan menjadi lokasi Perhutanan Sosial agar bisa mendapatkan tenaga kerja murah bahkan tidak bayar.  

Tidak hanya kedua lokasi tersebut, terbaru 58.000 Ha tanah ulayat masyarakat adat Amanuban juga ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui KPH melalui SK Menteri LHK No. 357 tahun 2016. faktanya, tanah tersebut bukanlah tanah kosong melainkan tanah ulayat yang terdiri dari lahan pertanian, pemukiman penduduk, dan belukar-belukar rakyat. Tak hanya untuk dijadikan Hutan yang akan dikelola oleh KPH melalui skema Perhutana Sosial, tetapi dalam kawasan tersebut juga tengah berlangsung pembangunan Bendungan Temef (Proyek Strategis Nasional) dan beberapa sumber menyatakan akan menjadi lokasi konsesi pembangunan industri Tambang Mangan.

Sebagaimana hukum umum bahwa “keadaan menentukan kesadaran” dimana serangkaian tindasan dan perampasan tanah tersebut telah menyulut api perlawan rakyat di Timor. Rakyat Pubabu misalnya telah memulai perlawanya sejak tahun 2008 dan terus berlangsung hingga saat ini meskipun harus menghadapi berbagai bentuk tindasan fasis mulai dari intimidasi, teror, penggusuran, pemukulan, penembakan gas air mata, hingga kriminalisasi terhadap satu orang tokoh adat yang ditahan pada bulan februari hingga agustus 2023 lalu.

Meski demikian, hingga saat ini rakyat Pubabu masi tetap kokoh dan terus konsisten mempertahankan tanahnya dan menuntut agar seluruh kawasan termasuk hutan seluas 6000 Ha untuk segera dikembalikan kepada rakyat Pubabu. Berbagai bentuk aksi dan kampanye kerap dilakukan oleh rakyat Pubabu mulai dari aksi-aksi demonstrasi di provinsi jalur selatan selama 1 (satu) hari penuh dalam beberapa periode yaitu pada tahun 2013, 2019, dan 2020 pernah dilakukan. tak hanya itu, rakyat Pubabu juga sering melakukan aksi solidaritas bagi kaum tani lainnya yang sedang mengalami tindasan sebab tanpa “solidaritas” maka mustahil kemenangan akan berpihak ditangan rakyat.

Acara Musyawarah Adat Amanuban / Doc. AGRA NTT

Begitupun dengan masyarakat di hutan camplong dan Amanuban (Banam) yang saat ini terus menggalakan persatuan sebagai tahap awal mengobarkan perjuangan melawan monopoli dan perampasan tanah yang sedang dihadapi. Secara khusus masyarakat Amanuban telah beberapa kali melakukan Musyawarah Adat Amanuban yang melahirkan petisi penolakan klaim KPH atas tanah Amanuban yang selanjutnya telah dikirimkan ke berbagai instansi pemerintah termasuk KLHK.

AGRA NTT sebagai organisasi yang memiliki karakter Demokratik Nasional terus berupaya menjahit satu demi satu perjuangan rakyat tersebut menjadi satu kekuatan yang bersatu utuh untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati dimulai dari melawan semua bentuk monopoli, perampasan tanah, penggusuran, dan berbagai tindasan-tindasan lainya.

Catatan: istilah Belukar Rakyat artinya adalah lahan tadah hujan yang digarap secara berpindah sehingga dalam musim-musim tertentu akan tampak seperti hutan

Previous MENYELAMATKAN KAMPUNG BARU DARI PENGGUSURAN

Leave Your Comment

Share via
Copy link